Kamis, 27 Mei 2010

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam kalangan masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Padahal cara berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang sangat berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misalnya untuk membuka situs-situs porno,dll. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone (telepon genggam). Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain:
1. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
2. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.
3. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misalnya semangat mencintai produk dalam negeri.
4. Menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan sebaik-baiknya.
5. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
Dengan adanya langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu mengurangi pengaruh globalisasi yang negatif dan dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa sendiri dan dapat dilestarikan dengan baik oleh anak, cucu kita di masa yang akan datang.

Globalisasi Berdasarkan Pancasila

Dalam perkembangan dunia yang serba modern seperti saat ini bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang semakin besar dan kompleks sejalan dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi. Kondisi tersebut mau tidak mau dan suka tidak suka dapat berakibat negatif terhadap cara pandang bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Benteng terkuat untuk menangkal segala bentuk baik ancaman maupun pandangan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut tentu dengan tetap berpegang teguh pada pandangan hidup bangsa Indonesia. Setidaknya, perubahan sosial yang terjadi akibat globalisasi dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang modern atau dengan kata lain, dengan kepribadiannya sendiri, bangsa dan negara Indonesia berani menyosong dan memandang pergaulan dunia, tetapi kendati hidup diantara pergaulan dunia, bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jati diri bangsa yang tumbuh diatas kepribadian bangsa lain, mungkin saja memandang kemajuan, tetapi kemajuan akan membuat rakyat menjadi asing dengan dirinya sendiri seperti yang terjadi saat ini di mana rakyat tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Mereka kehilangan jati diri yang sebenarnya sudah jelas tergambar melalui nilai-nilai luhur yang tergantung dalam Pancasila. Rakyat dan bangsa yang kehilangan jati dirinya sendiri senantiasa berada dalam kegelisaan sehingga akhirnya menjadi lunak dan mudah menjadi mangsa bangsa lain.
Bangsa dan rakyat Indonesia sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, Pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berukar dalam kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagian jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan Sang Khalik. Gelombang globalisasi. Dalam sejarah perkembangannya, menurut para ahli, globalisasi merupakan suatu mata rantai yang mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad ke-16 sampai abad ke-19, modernisasi di abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi, dan trasportasi, mendorong globalisasi mengalami percepatan yang luar biasa pesatnya. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antara bangsa dan interkoneksi yang melampui batas-batas geografis dan kedaulatan negara.
Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak signifikan. Mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergaulan antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola tekanan globalisasi cenderung mengarah pada integrasi sosial budaya di bawah naungan kultur Barat sebagai kultur yang dominan. Saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi arus ganda persoalan seputar identitas nasional kebudayaanya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan hegemoni budaya. Disisi lain, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi. Contoh dari gejala ini munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa. Melihat dua kenyataan dilematis tersebut, maka diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal Indonesia yang terbungkus dalam ideologi negara Pancasila yang sayangnya saat ini tengah carut-marut dan tercerabut. Karena itu, multikulturalisme (plural culture) dan konsep ideologi terbuka seharusnya dijadikan paradigma baru mengantikan konsep masyarakat majemuk semu yang selama ini diterapkan rezim militer Orde Baru. Multikulturalisme dan konsep terbuka merupakan sesuatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isue separatisme dan disintegrasi sosial. Memang era keterbukaan global telah membuka peluang bagi masuknya berbagai faham dan ideologi asing di luar Pancasila dan sistem politik dari luar Indonesia. Dan sebagai akibatnya, alam berfikir para elite politik dan sebagai genenarasi muda turut terpengaruh di dalamnya. Adanya gejala mulai meninggalkan atau setidaknya tak lagi menaruh kepedulian terhadap Pancasila dan adanya amandemen total UUD 1945 menjadi pertanda betapa kuatnya pengaruh globalisasi di bidang ideologi dan politik nasional.
Di era global ini pula kejahatan organisasi kelas internasional demikian mudahnya masuk ke setiap negara, khususnya Indonesia, melakukan link-up dengan organisasi-organisasi kejahatan lokal dengan modus operandi baru yang lebih canggih. Lihat saja betapa maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Bahkan, akibat pengaruh global, Indonesia kini bukan hanya sebagai negara transit, tetapi telah menjelma sebagai negara produsen narkoba. Demikian pula dengan jaringan terorisme internasional yang kian canggih dan rapi dalam merencanakan, mempersiapkan, mengkoordinasikan, serta melaksanakan aksi-aksi teror di Indonesia. Berbagai aksi pemboman menjadi bukti nyata betapa teroris telah masuk ke dalam relung kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia
Derasnya arus pengaruh budaya dan gaya hidup dari luar yang masuk ke dalam kehidupan rakyat Indonesia semakin sulit terbendung sebagai efek terbukanya akses informasi dan komunikasi serta transportasi yang semakin luas dan cepat. Kekurang pedulian para penyelenggara negara dan tokoh masyarakat dalam memilihara serta mengembangkan nilai-nilai budaya dari luar yang negatif dalam kehidupan sehari-hari. Merebaknya penyalahgunaan narkoba, peredaran pornografi, pelanggaran susila, tindak kejahatan anak-anak dan remaja, pratek perjudian yang dilindungi oknum aparat, gaya hidup serba bebas tanpa peduli norma agama serta norma budaya dan kepribadian bangsa, terasa kian kental mewarnai suasana kehidupan masyarakat di perkotaan dan bahkan telah mulai menembus di pedesaan.
Bola salju Globalisasi. Kuatnya pengaruh bola salju globalisasi yamg meluncur dengan derasnya sambil membawa muatan kebebasan dan persaingan bebas mengakibatkan rakyat dan bangsa Indonesia seperti terkena goncangan kultural dan tampaknya belum cukup siap untuk menghadapi bangsa Indonesia menjadi bingung dan limbung serta muncul berbagai bentuk sikap isolatif dan protektif yang berorientasi pada primordialisme sempit. Dalam konteks nasional, di satu sisi, bisa melunturkan kesadaran dan semangat nasionalisme, sedangkan di sisi lain melahirkan sikap anti asing yang berbau asing. Sungguh amat dilematis dan memprihatinkan. Semestinya bangsa Indonesia bisa menyikapi globalisasi dengan tenang, tegas, bijaksana, dan selektif, jika kadar keyakinan bangsa cukup kuat dan mantap. Nilai global yang berpengaruh positif dan menguntungkan kepentingan nasional hendaknya diambil. Sedangkan nilai berpengaruh negatif serta merugikan kepentingan nasional hendaknya ditolak dengan tegas, dengan argumen yang kuat, tanpa berlagak gensi atau takut. Bukankah negara yang suka berteriak kebebasan justru memberlakukan peraturan yang ketat di dalam negaranya demi keamanan nasionalnya. Bukankah negara yang suka kencang berteriak HAM justeru getol melakukan pelanggaran HAM di negerinya sendiri dan bahkan dinegeri lain. Bangsa Indonesia harus bersikap tegas dan luwes dalam mengahadapi globalisasi. Jangan sampai kepentingan nasional malah menjadi korban hanya demi alasan globalisasi. Kepentingan nasional harus diletakan di atas semua kepentingan yang ada baik kepentingan individu dan kelompok maupun kepentingan global. Di saat krisis seperti saat ini bangsa Indonesia, bahkan para pemimpin nasional. Telah kehilangan pegangan, dan hanyut terombang-ambing derasnya arus perubahan yang tak mampu dikelola dengan baik dan bijaksana. Tak jelas akan terbawa arus menuju kemana dan sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung. Pada hal sebagai bangsa Indonesia memiliki rambu-rambu yang mengarahkan perjalanan bangsa, serta memiliki ideologi negara sebagai pemberi arah dalam meraih cita-cita nasional. Landasan berpijak, rambu-rambu, dan arah yang hendak dituju tak lain adalah Pancasila yang digali oleh faunding fathers sebelum proklamasi kemerdekaan RI.
Upaya pemantapan pemahaman terhadap Pancasila menjadi penting dan mendesak justeru ketika bangsa Indonesia dilanda krisis dan terkesan kehilangan pegangan seperti sekarang. Tetapi, saat ini, kedudukan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa sedang terjepit oleh ancaman dari dua sisi. Di satu sisi, ancaman neo-liberalisme yang mendewa-dewakan kebebasan dan HAM dengan atas nama demokrasi bagi rakyat yang bebas merdeka. Di sisi yang lain, ancaman dari neo-komunisme yang mengatasnamakan demokrasi bagi rakyat kecil yang tertindas. Kurangnya pemahaman terhadap ideologi Pancasila yang sekaligus juga jati diri bangsa sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan perjalanan bangsa ke depan. Misalnya saja pemahaman keliru tentang HAM yang diwujudkan dalam sikap hanya ingin menuntut haknya sendiri tanpa mempedulikan hak orang lain yang dilanggarnya dalam upaya memperjuangkan atau menuntut haknya. Sikap seperti itu jelas bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dan norma hukum. Bahkan, bertentangan dengan ajaran agama manapun. Juga dalam kehidupan berdemokrasi, sesungguhnya penyelenggara kehidupan demokrasi melalui badan perwakilan merupakan ciri demokrasi modern yang berbeda dengan sistem demokrasi primitif yang tidak menggunakan cara perwakilan. Asas musyawarah sarat dengan muatan wintvin solution synergetic (pola hubungan timbal balik yang saling mengisi atau saling percaya yang berlandasan pada semangat kerja sama yang kokoh dan rasa kepercayaan yang tinggi bagi tercapainya kekuatan dan ketangguhan. Oleh karena itu upaya pemantapan ideologi dilakukan secara serius dan konsisten oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Caranya melalui berbagai alur seperti metode pendidikan, komunikasi-informasi, pertunjukan seni, simulasi-simulasi dan keteladanan.

Otonomi Daerah

A. Pengertian dan Latar Belakang Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada suatu daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan perekonomian Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada Undang-Undang (UU).
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Dekonsentrasi adalah suatu pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat di daerah tersebut.
2. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
3. Tugas Pembantuan (medebewind) bertugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
B. Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah antara lain:
1. Sesuai dengan konstitusi sehingga terjamin hubungan serasi antara Pusat dan
Daerah.
2. Asas dekonsentrasi diletakkan pada Propinsi sebagai wilayah administrasi.
3. Lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom sehingga dalam kabupaten tidak ada wilayah administrasi.
4. Peningkatan peran dan fungsi Badan Legislatif Daerah wilayah administrasi.
5. Memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman.
6. Asas Tugas Pembantuan diberikan dari Pemerintah kepada Daerah serta dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa.
7. Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
8. Otonomi daerah yang luas dan utuh untuk Kabupaten, Otoda yang terbatas untuk Propinsi.

C. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam menyelenggarakan otonomi daerah berdasarkan UU otonomi daerah yang ada.
Paradigma filosofis, kebijakan politis, dan peraturan perundang-undangan mengenai sistem pemerintahan dan pemerintahan daerah khususnya, adalah tiga dimensi yang bertalian erat satu sama lain, antara ketiganya ini sudah semenjak tahun 1945 susul menyusul adanya, dalam rangka mencari satu format atau model pemerintahan dan otonomi daerah yang sesuai dengan tuntutan perkembangan politik di Indonesia, baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun global.
Silih berganti UUD, begitu pula induk, policy (misalnya GBHN), disusul peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan dan otonomi daerah, sampai saat ini belum juga ditemukan satu format yang dinilai mantap dan menjanjikan bagi bangsa Indonesia, terlebih-lebih bagi masyarakat di daerah. Justru gerakan disentegrasi dan separatisme yang bemunculan dimana-mana. Bangsa Indonesia sedang mencari-cari dan berusaha menemukan satu format konstitusionalisme yang baru bagi dirinya, untuk kepentingan penataan ulang sistem manajemen kehidupan bangsa ini di semua bidang politik ekonomi, sosial budaya dan Hamkam, termasuk mengenai Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Hilaire Barnett mengatakan: “Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of government action. By constituonalisme is meant in relation to constituons written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state. Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan (political messages) mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha bersama di antara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan family relationship), bukan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis dan kroniisme). Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekwen dan konsisten dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali lebih banyak retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional yang terjadi selama inilah yang harus dilempangkan supaya kembali ke koridor semestinya. Maka kasus Indonesia ini sebenarnya, ialah satu upaya besar rekonstitusionalisasi dalam rangka mencari format konsititusionalisme yang baru bagi bangsa ini. Menurut hemat dan terpecahkan dan terselesaikan, maka sistem politik dan sistem perekonomian berikut sistem dan sub-sub sistem lainnya tidak akan kunjung mendapat format dan profilnya yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan luas.

Pancasila Sebagai Sistem Etika Bangsa Indonesia

Nilai, normal, dan moral adalah suatu konsep yang sangat berkaitan. Dalam hubunganya dengan pancasila maka akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik hukum, norma moral maupun norma kenegaraan.

Etika adalah suatu kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Selain itu, etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa mengikuti suatu ajaran tertentu dan bertanggung jawab dengan beberapa ajaran moral. Kelompok etika antara lain :
a. Etika Khusus adalah membahas tentang prinsip dalam hubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik individu maupun sosial.
b. Etika Umum adalah mempertanyakan tentang prinsip yang berlaku bagi setian tindakan yang dilakukan oleh manusia.

Nilai (Value) adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Beberapa para ahli mengidenfikasikan macam-macam nilai sebagi berikut :
1. Menurut Alport antara lain nilai ekonomi, nilai sosial, nilai religi, nilai politik, nilai teori, dan nilai estetika.
2. Menurut Max Scheler antara lain nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kerohanian, dan nilai kejiwaan.
3. Menurut Notonegoro antara lain nilai vital, nilai material, dan nilai kerohanian yang terdiri dari (Nilai Keindahan, Nilai Kebenaran, Nilai Religius, dan Nilai Kebaikan).

Pengertian moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, moral, religi, dan sosial. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Nilai Instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang merupakan penjabaran Pancasila. Nilai Praksis adalah penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental.

Keterkaitan antara nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara disetiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila individu, masyarakat, bangsa dan Negara menghendaki pondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Secara etimologi, filsafat adalah istilah atau kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia. Kata itu terdiri dari dua kata yaitu philo, philos, philein, yang mempunyai arti cinta, pecinta, mencintai dan sophia yang berarti kebijakan, kearifan, hikmah, hakikat kebenaran. Jadi secara harafiah istilah filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan atau kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang paling umum yang mengandung usaha mencari kebijaksanaan dan cinta akan kebijakan.

Kata filsafat untuk pertama kali digunakan oleh Phythagoras (582-496 SM). Dia adalah seorang ahli pikir dan pelopor matematika yang menganggap bahwa intisari dan hakikat dari semesta adalah bilangan. Tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat antara lain :
1. Keheranan adalah bahwa kata heran merupakan asal dari filsafat. Rasa heran akan mendorong untuk menyelidiki.
2. Kesangsian adalah sumber utama bagi pemikiran manusia yang akan menuntun pada kesadaran.
3. Kesadaran akan keterbatasan. Bahwa menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekitarnya.

Filsafat sebagai kegiatan olah pikir manusia menyelidiki obyek yang tidak terbatas yang ditinjau dari sudut isi atau substansinya dapat dibedakan menjadi :
a. Obyek material filsafat adalah obyek pembahasan filsafat yang mencakup segala sesuatu baik bersifat material kongkrit maupun yang bersifat abstrak.
b. Obyek formal filsafat adalah cara memandang seorang peneliti terhadap obyek material tersebut.

Suatu obyek material tertentu dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, terdapat berbagai macam sudut pandang filsafat yang merupakan cabang-cabang filsafat yang pokok adalah :
a. Logika adalah ilmu yang membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang benar.
b. Estetika adalah ilmu yang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat keindahan atau kejelekan.
c. Etika adalah ilmu yang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku manusia tentang baik buruk.
d. Metafisika adalah ilmu membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik fisis yang meliputi bidang antropologi, kosmologi, dll.
e. Metologi adalah ilmu yang membicarakan cara untuk memperoleh pengetahuan.
f. Epistemologi adalah ilmu yang membahas pikiran-pikiran dengan hakikat pengetahuan atau kebenaran.

Aliran-aliran utama filsafat sebagai berikut :
a. Aliran Idealisme atau Spiritualisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa ide dan spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia.
b. Aliran Materialisme adalah aliran yang mengajarkan hakikat realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia ialah materi.
c. Aliran Realisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa kedua aliran tersebut adalah bertentangan, tidak sesuai dengan kenyataan (tidak realitis).

Sistem nilai (value system) yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan Indonesia sepanjang sejarah yang berakar dari unsur-unsur kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu menjadi kebudayaan bangsa Indonesia.

Selain itu, pancasila juga terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu system filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks
b. Saling berhubungan dan saling ketergantungan
c. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
d. Suatu kesatuan bagian-bagian
e. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama
Pada hakikatnya setiap sila Pancasila merupakan suatu asas-asas sendiri, fungsi sendiri namun secara keseluruhan adalah suatu kesatuan uang sistematis dengan tujuan suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.