Dalam perkembangan dunia yang serba modern seperti saat ini bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang semakin besar dan kompleks sejalan dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi. Kondisi tersebut mau tidak mau dan suka tidak suka dapat berakibat negatif terhadap cara pandang bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Benteng terkuat untuk menangkal segala bentuk baik ancaman maupun pandangan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut tentu dengan tetap berpegang teguh pada pandangan hidup bangsa Indonesia. Setidaknya, perubahan sosial yang terjadi akibat globalisasi dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang modern atau dengan kata lain, dengan kepribadiannya sendiri, bangsa dan negara Indonesia berani menyosong dan memandang pergaulan dunia, tetapi kendati hidup diantara pergaulan dunia, bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jati diri bangsa yang tumbuh diatas kepribadian bangsa lain, mungkin saja memandang kemajuan, tetapi kemajuan akan membuat rakyat menjadi asing dengan dirinya sendiri seperti yang terjadi saat ini di mana rakyat tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Mereka kehilangan jati diri yang sebenarnya sudah jelas tergambar melalui nilai-nilai luhur yang tergantung dalam Pancasila. Rakyat dan bangsa yang kehilangan jati dirinya sendiri senantiasa berada dalam kegelisaan sehingga akhirnya menjadi lunak dan mudah menjadi mangsa bangsa lain.
Bangsa dan rakyat Indonesia sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, Pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berukar dalam kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagian jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan Sang Khalik. Gelombang globalisasi. Dalam sejarah perkembangannya, menurut para ahli, globalisasi merupakan suatu mata rantai yang mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad ke-16 sampai abad ke-19, modernisasi di abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi, dan trasportasi, mendorong globalisasi mengalami percepatan yang luar biasa pesatnya. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antara bangsa dan interkoneksi yang melampui batas-batas geografis dan kedaulatan negara.
Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak signifikan. Mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergaulan antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola tekanan globalisasi cenderung mengarah pada integrasi sosial budaya di bawah naungan kultur Barat sebagai kultur yang dominan. Saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi arus ganda persoalan seputar identitas nasional kebudayaanya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan hegemoni budaya. Disisi lain, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi. Contoh dari gejala ini munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa. Melihat dua kenyataan dilematis tersebut, maka diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal Indonesia yang terbungkus dalam ideologi negara Pancasila yang sayangnya saat ini tengah carut-marut dan tercerabut. Karena itu, multikulturalisme (plural culture) dan konsep ideologi terbuka seharusnya dijadikan paradigma baru mengantikan konsep masyarakat majemuk semu yang selama ini diterapkan rezim militer Orde Baru. Multikulturalisme dan konsep terbuka merupakan sesuatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isue separatisme dan disintegrasi sosial. Memang era keterbukaan global telah membuka peluang bagi masuknya berbagai faham dan ideologi asing di luar Pancasila dan sistem politik dari luar Indonesia. Dan sebagai akibatnya, alam berfikir para elite politik dan sebagai genenarasi muda turut terpengaruh di dalamnya. Adanya gejala mulai meninggalkan atau setidaknya tak lagi menaruh kepedulian terhadap Pancasila dan adanya amandemen total UUD 1945 menjadi pertanda betapa kuatnya pengaruh globalisasi di bidang ideologi dan politik nasional.
Di era global ini pula kejahatan organisasi kelas internasional demikian mudahnya masuk ke setiap negara, khususnya Indonesia, melakukan link-up dengan organisasi-organisasi kejahatan lokal dengan modus operandi baru yang lebih canggih. Lihat saja betapa maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Bahkan, akibat pengaruh global, Indonesia kini bukan hanya sebagai negara transit, tetapi telah menjelma sebagai negara produsen narkoba. Demikian pula dengan jaringan terorisme internasional yang kian canggih dan rapi dalam merencanakan, mempersiapkan, mengkoordinasikan, serta melaksanakan aksi-aksi teror di Indonesia. Berbagai aksi pemboman menjadi bukti nyata betapa teroris telah masuk ke dalam relung kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia
Derasnya arus pengaruh budaya dan gaya hidup dari luar yang masuk ke dalam kehidupan rakyat Indonesia semakin sulit terbendung sebagai efek terbukanya akses informasi dan komunikasi serta transportasi yang semakin luas dan cepat. Kekurang pedulian para penyelenggara negara dan tokoh masyarakat dalam memilihara serta mengembangkan nilai-nilai budaya dari luar yang negatif dalam kehidupan sehari-hari. Merebaknya penyalahgunaan narkoba, peredaran pornografi, pelanggaran susila, tindak kejahatan anak-anak dan remaja, pratek perjudian yang dilindungi oknum aparat, gaya hidup serba bebas tanpa peduli norma agama serta norma budaya dan kepribadian bangsa, terasa kian kental mewarnai suasana kehidupan masyarakat di perkotaan dan bahkan telah mulai menembus di pedesaan.
Bola salju Globalisasi. Kuatnya pengaruh bola salju globalisasi yamg meluncur dengan derasnya sambil membawa muatan kebebasan dan persaingan bebas mengakibatkan rakyat dan bangsa Indonesia seperti terkena goncangan kultural dan tampaknya belum cukup siap untuk menghadapi bangsa Indonesia menjadi bingung dan limbung serta muncul berbagai bentuk sikap isolatif dan protektif yang berorientasi pada primordialisme sempit. Dalam konteks nasional, di satu sisi, bisa melunturkan kesadaran dan semangat nasionalisme, sedangkan di sisi lain melahirkan sikap anti asing yang berbau asing. Sungguh amat dilematis dan memprihatinkan. Semestinya bangsa Indonesia bisa menyikapi globalisasi dengan tenang, tegas, bijaksana, dan selektif, jika kadar keyakinan bangsa cukup kuat dan mantap. Nilai global yang berpengaruh positif dan menguntungkan kepentingan nasional hendaknya diambil. Sedangkan nilai berpengaruh negatif serta merugikan kepentingan nasional hendaknya ditolak dengan tegas, dengan argumen yang kuat, tanpa berlagak gensi atau takut. Bukankah negara yang suka berteriak kebebasan justru memberlakukan peraturan yang ketat di dalam negaranya demi keamanan nasionalnya. Bukankah negara yang suka kencang berteriak HAM justeru getol melakukan pelanggaran HAM di negerinya sendiri dan bahkan dinegeri lain. Bangsa Indonesia harus bersikap tegas dan luwes dalam mengahadapi globalisasi. Jangan sampai kepentingan nasional malah menjadi korban hanya demi alasan globalisasi. Kepentingan nasional harus diletakan di atas semua kepentingan yang ada baik kepentingan individu dan kelompok maupun kepentingan global. Di saat krisis seperti saat ini bangsa Indonesia, bahkan para pemimpin nasional. Telah kehilangan pegangan, dan hanyut terombang-ambing derasnya arus perubahan yang tak mampu dikelola dengan baik dan bijaksana. Tak jelas akan terbawa arus menuju kemana dan sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung. Pada hal sebagai bangsa Indonesia memiliki rambu-rambu yang mengarahkan perjalanan bangsa, serta memiliki ideologi negara sebagai pemberi arah dalam meraih cita-cita nasional. Landasan berpijak, rambu-rambu, dan arah yang hendak dituju tak lain adalah Pancasila yang digali oleh faunding fathers sebelum proklamasi kemerdekaan RI.
Upaya pemantapan pemahaman terhadap Pancasila menjadi penting dan mendesak justeru ketika bangsa Indonesia dilanda krisis dan terkesan kehilangan pegangan seperti sekarang. Tetapi, saat ini, kedudukan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa sedang terjepit oleh ancaman dari dua sisi. Di satu sisi, ancaman neo-liberalisme yang mendewa-dewakan kebebasan dan HAM dengan atas nama demokrasi bagi rakyat yang bebas merdeka. Di sisi yang lain, ancaman dari neo-komunisme yang mengatasnamakan demokrasi bagi rakyat kecil yang tertindas. Kurangnya pemahaman terhadap ideologi Pancasila yang sekaligus juga jati diri bangsa sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan perjalanan bangsa ke depan. Misalnya saja pemahaman keliru tentang HAM yang diwujudkan dalam sikap hanya ingin menuntut haknya sendiri tanpa mempedulikan hak orang lain yang dilanggarnya dalam upaya memperjuangkan atau menuntut haknya. Sikap seperti itu jelas bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dan norma hukum. Bahkan, bertentangan dengan ajaran agama manapun. Juga dalam kehidupan berdemokrasi, sesungguhnya penyelenggara kehidupan demokrasi melalui badan perwakilan merupakan ciri demokrasi modern yang berbeda dengan sistem demokrasi primitif yang tidak menggunakan cara perwakilan. Asas musyawarah sarat dengan muatan wintvin solution synergetic (pola hubungan timbal balik yang saling mengisi atau saling percaya yang berlandasan pada semangat kerja sama yang kokoh dan rasa kepercayaan yang tinggi bagi tercapainya kekuatan dan ketangguhan. Oleh karena itu upaya pemantapan ideologi dilakukan secara serius dan konsisten oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Caranya melalui berbagai alur seperti metode pendidikan, komunikasi-informasi, pertunjukan seni, simulasi-simulasi dan keteladanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar